Oleh: Muqsi M Nasir
22 Maret 2014
Pagi
itu, ya! pagi itu pikiran si Agam masih sangat jelas membayangkan suasana bagaimana
rentetan peluru bertabur di dinding gubuk milik orang tua si agam. Pada pagi
masih jam 04:00 suasana hening masih menyelimuti desa yang berada di pinggir
pegunungan adem bercampur dingin masih menusuk celah pori-pori yang menembus sampai
ketulang. Tiba-tiba gerik suara datang dari samping dinding yang hanya terbuat
dari belahan bamboo “trieng teucriek”. Si Agam terbangun dan menelusuri asal
suara yang menghampiri telinga serta mengintip lewat celah dinding gubuk
miliknya. Ternyata benar dugaan si Agam, seratusan loreng dengan wajah beringas
telah bersiaga di samping-samping gubuk miliknya. Dia masuk kekamar orang
tuanya secara pelan-pelan, dia tahu bahwa Ayahnya seorang gerilyawan (pejuang
kemerdekaan). Setelah Ayahnya terbangun tidak langsung mencuci muka melainkan
mengambil sepucuk senjata laras panjang jenis AK 47 dan sepucuk senjata laras
pendek jenis FN kaliber 4.5.
Ibu si
Agam terbangun dan langsung panik karena telah mengetahui gubuknya telah
dikepung. Setengah jam berlalu seratusan tentara tidak sabar menunggu orang tua
si Agam keluar untuk menyerah tentara itu langsung angkat bicara.
“Kalau ada orang separatis segera
keluar didalam rumah, kalau tidak akan kami tembak dan kami bakar semuanya”
gertak salah satu tentara yang ada di situ.
Mereka
bertiga berembuk demi mencari solusi yang lebih baik. Mereka memutuskan untuk
berperang walaupun anggotanya jauh lebih kalah, namun demi mempertahankan harga
diri seorang anak bangsa. Begitu pikir orang tua si Agam
Suara
tam tum dari senjata tentara secara membabi buta sudah tidak dapat terelak
lagi. Si agam dengan ibunya bersembunyi di bawah kasur, sedangkan ayah si agam
terus membalas serangan dari tentara yang ada di luar. Sangat mengelak dinding bambu
yang sudah patah-patah dan bisa dilihat kenalah tembakan ayah si agam di bahu
sebelah kiri. Ibu berteriak “Ayah menyerah saja, Ayah menyerah saja”. Suara itu
tidak di gubris oleh sang ayah, maklum sang ayah orang yang paling berani dank keras
kepala. Darah terus keluar dari bahu yang luka, badan ayah si agam terus
melemah sedangkan serangan terus di lancarkan hingga sang ayah rubuh seketika. Pada
saat itu juga rumah si agam di gledah, dan ditangkaplah si agam dengan ibunya
dan rumahnya di bakar beserta jasad ayah si agam. Mereka hanya berteriak dan
pasrah, tangan keduanya diikat dan di bawa ke mobil panser, kenang si agam.
Mereka
di bawa secara terpisah, si agam dibawa ke satu tempat dekat pegunungan. Sesampai
di situ si agam di telanjangi dan di setrum begitu seterusnya. Dua minggu telah
berlalu team loreng mendadak menerima serangan balasan dari gerilyawan pejuang,
mungkin itu sahabat ayah saya yang bersedia membantu saya. “Pikir si agam yang
sedang menunggu bantuan”
Si agam
terus semangat berusaha untuk melepaskan ikatan tali di tangannya, berkat
semangat dan usahanya tali ditangannya terbuka. Si agam terus berlari dari jeratan
kepungan para loreng-loreng. Saat itu si agam bertemu dengan sahabat ayah si
agam yang ikut menyerang pos loreng itu. Sahabat ayah yang satu ini sering
berkunjung di gubuk tempat si agam tinggal ketika tidak operasi. Dia bertanya;
Ayah dan ibumu dimana agam? Si agam tidak menjawab, dan terus berlari menuju
tempat yang aman. Sesampai ke markas milik sahabat ayah si agam, malik namanya “cek
malik” sapaan akrab bagi si agam. Dia bertanya lagi dengan nada begitu
penasaran kepada si agam “Ayah dan ibumu dimana”. Tiba-tiba suara isak tangis
memecahkan keheningan malam si agam menjawab “Ayah sudah meninggal di tembak
dan di bakar bersama gubuk dan ibu saya di bawa entah kemana sekarang aku
tinggal sebatangkara”
Cek malik
berusaha menenangkan suasana kesedihan yang dialami si agam. Cek malik juga
bercerita tentang keluarganya yang di bunuh semuanya di desa ketika cek malik
naik ke pegunungan dengan mengikis asa dan harga diri satu bangsa yang
berdaulat. “saya tidak punya apa-apa lagi, anak saya di bunuh dan istri di
perkosa sebelum di bunuh oleh bajingan biadab itu” ungkap cek malik dengan rasa
geram. Si agam kaget campur sedih “ ternyata lebih pedih orang lain lagi” gumam
si agam dalam hati
Sebulan
kemudian si agam memutuskan untuk masuk gerilyawan tersebut dengan ajakan cek
malik juga. Si agam berdiri tegap seperti ayahnya pada waktu itu, dia sudah
menjadi anggota gerilyawan. Waktu begitu berlalu, huru hara pun semakin mereda
di bumi rentetan senjata yang tak pernah kunjung reda. Perdamaian seakan hanya
mimpi semata yang sangat sulit di peroleh menjadi tumpuan bagi para pejuang. Menjelang
damai si agam bermimpi, dia kedatangan tamu perempuan memakai serba putih dan
berkata “jangan kau carikan perempuan tua, karena dia sudah tenang di alam sana”.
Setelah itu si agam terbangun dari tidurnya, seketika saja dia rindu pada
ibunya yang telah lama tidak ada kabar. “dimana kah kau ibuku, aku begitu rindu
pada belaianmu waktu tidur, masakanmu, aku rindu” rintih si agam dengan
linangan air mata.
Hari-hari
penuh rindu, rindu menusuk luka ingin berjumpa dengan ibunda yang tidak tahu lagi
di daratan dimana. Konflik bergejolak dan hanya memendam rindu yang kian
mendera seorang pejuang. Detik-detik perundingan antara kedua belah pihak, kami
semua turun ke desa untuk menikmati kedamaian tanpa “tam tum busu bleut”
(rentetan senjata-red). Rindu bergitu berkobar, kata “jumpa” tak pernah hilang.
Dua hari perjalanan naik turun gunung sudah kelihatan rimbunnya pepohonan
disamping gubuk yang terbakar. Si agam berjalan dekat dengan gubuk yang menjadi
abu dan melihat dua pusara yang bersanding di bawah pohon besar. Semakin penasaran
dan perasaan tidak enak, “tidak salah lagi itu pusara kedua orang tua” pungkas
si agam dengan rasa tidak yakin. Si agam semakin mendekati gubuk miliknya yang
di bakar pada masa itu, tiba-tiba salah satu penduduk desa lewat di depannya
lalu si agam bertanya “pusara milik siapa itu” orang itu menjawab pusara itu
adalah ibu Fatimah dan Ibrahim. Seketika saja tangisan si agam tak terbendung
lagi, tubuhnya rubuh tak berdaya. Si agam terus menangis di atas pusara kedua
orang tuanya sambil memanjatkan Do’a kepada sang Khaliq meminta agar kedua
orang tuanya di letakkan disisi-Nya. Amin…
Kedamaian
pun telah di rasakan oleh si agam walaupun harus merelakan kedua orang tuanya
hidup dengan berbeda alam. “tam-tum busu bleut-negri bertabur peluru” akan
menjadi saksi mata bagi si Agam dan tak pernah lupa sepanjang hidupnya serta
menjadi hikmah di balik semua kejadian tersebut. Semoga!!!
Mantappp
BalasHapusTrimakasih pak
HapusGood job
BalasHapus